Khalifah (Arab:خليفة Khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr
al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau
"pemimpin orang-orang mukmin", yang kadang-kadang disingkat menjadi
"amir".
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib), kekhalifahan yang
dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa
kekhalifahan kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol,
Afrika Utara, dan Mesir.
Khalifah berperan sebagai
pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan
khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan majelis Syura' yang merupakan
majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan)
dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme pengangkatannya dilakukan
dengan cara bai'at yang merupakan
perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Khalifah memimpin sebuah Khilafah,
yaitu sebuah sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai
Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.
Jabatan dan pemerintahan
kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan Utsmani berakhir dan
dibubarkan dengan pendirian Republik
Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis
Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah
Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut
sebagai Diyainah.
Daftar isi
- 1 Etimologi
- 2 Kelahiran Kekhalifahan Islam
- 3 Fungsi dan Peran Khalifah
- 4 Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam
- 5 Pencabutan gelar Khalifah
- 6 Sejarah
- 6.1 Bani Umayyah
- 6.2 Bani Abbasyiah
- 6.3 Kekhalifahan "bayangan"
- 6.4 Kekaisaran Usmaniyah
- 6.5 Kekhilafahan 'ala Minhaji an-Nubuwah
- 7 Keruntuhan kekhalifahan
- 8 Negara Islam
- 9 Argumentasi tentang Pentingnya Khalifah
- 9.1 Dalil al-Qur'an
- 9.2 Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
- 9.3 Dalil Ijma’ Sahabat
- 9.4 Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
- 9.5 Pendapat Para Ulama
- 10 Daftar Khalifah
- 10.1 Khulafa'ur Rasyidin di Madinah
- 10.2 Kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus
- 10.3 Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad
- 10.4 Tanpa Khalifah - 1258-1261
- 10.5 Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Kairo
- 10.6 Kekhalifahan Turki Utsmani
- 11 Lihat pula
- 12 Referensi
- 13 Bacaan lanjutan
Etimologi
Kata "Khalifah"
sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau
"perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah
Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya.
Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad saw
sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga menggantikannya sebagai
penguasa sebuah entitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa
Muhammad saw selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa,
Panglima Perang, dan lain sebagainya.
Kelahiran Kekhalifahan
Islam
Kekhalifahan Islam, 622-750
Kebanyakan akademisi
menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau
memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan
yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad,
dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?
Pengganti Nabi Muhammad
Fred M. Donner, dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981), berpendapat
bahwa kebiasaan bangsa Arab ketika itu adalah untuk
mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (bani dalam
bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah
satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro atau musyawarah ini.
Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya,
walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya
Nabi Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk
menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa
yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di
kalangan kaum Muslim, namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang
hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah penerus
kepemimpinan Islam yang akan menggantikan rasul karena sebelum Nabi Muhammad
meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai imam
shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun terpilih menjadi Khalifah pertama dalam
sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad.
Namun beberapa kalangan
dari kaum Muslim Mekkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah
memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus
menantunya, sebagai pengganti dirinya. Mereka mengatakan bahwa Abū Bakar
merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan[butuh rujukan]. Semua Khalifah sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama oleh
kalangan ini, hal inilah yang memicu munculnya kaum Syiah belakangan pada masa
kekhalifahan Muawiyah,
lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan khalifah
"Siapa yang akan
menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya
masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa
besar kekuasaan pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak
hanya berperan sebagai pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi
keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai
dengan yang disampaikan Nabi Muhammad. Musyawarah dilakukan pada persoalan ini
untuk menentukan seberapa besar kekuasaan seorang Khalifah.
Tidak satu pun dari para
khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi
Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun
di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk
mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis
dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan
menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang
pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi
oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Bagaimanapun, ada beberapa
bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai
otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran.
Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan
mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim
sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's
Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi
begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa
pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan
bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim
beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan
baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum
akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin
umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang
menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah
hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga
mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara
Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam
beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini
berakhir dengan kemenangan para ulama.[butuh rujukan] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat
keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang
benar" apabila ia menjalankan saran spiritual
para ulama.[butuh rujukan] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan
pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga
kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan
setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi
pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah
spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat
Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin,
Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada
hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai
bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan
memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Fungsi dan Peran Khalifah
Telah jelas bahwa fungsi
dan peran khalifah sebagai pengganti Rasulullah sebagai Imam bagi umatnya. Maka
bagi penggantinya pun berlaku fungsi dan wewenang yang sama kecuali urusan
otoritas Rasulullah sebagai Nabi dan Rasul. Kekuasaan duniawi Rasul sebelum
wafat adalah berperan sebagai Hakim (penguasa) Negara Madinah dan sebagai Ketua
Persekutuan Islam Arabia. Jadi, secara politik hubungan Nabi dengan beberapa
suku bangsa dan kota-kota Arab luar Madinah waktu itu adalah hubungan
persekutuan, bukan hubungan penguasa dengan taklukkannya. Sedangkan secara
keumatan, Nabi adalah sebagai Imam atau Pemimpin Tertinggi Umat Islam. Dua
fungsi sebagai Imam dan Ketua Persekutuan Islam Arab inilah yang diwarisi Abu
Bakar sebagai Khalifahnya. Jadi, kekuasaan yang diterima Abu Bakar tidaklah
satu paket seperti yang disangkakan orang selama ini, melainkan terdiri dari
dua unsur, yaitu unsur keimaman (kedudukan sebagai Imam Umat Islam) dan unsur
kekuasaan (kedudukan sebagai penguasa Madinah dan Ketua Persekutuan). Unsur
yang pasti adalah unsur keimaman, sedangkan unsur kekuasaan adalah unsur kondisional.
Unsur kondisional maksudnya adalah dibaiatnya seorang khalifah tidaklah
mempersyaratkan atau memberikan kedudukan sebagai penguasa sebuah negara
berdaulat, tergantung kondisional apakah kondisi umat saat itu memiliki negara
atau tidak.
Jadi jika seandainya
Rasulullah saat wafat tidak memiliki unsur kekuasaan dan hanya unsur keimaman
saja, maka khalifahnya mewarisi hal yang serupa. Tapi Allah berkehendak bahwa
umat Islam ini selain sebagai sebuah umat juga sebagai sebuah peradaban yang di
mana peradabannya tersebut dijaga oleh sebuah entitas berdaulat. Namun
tampaknya berbeda dengan keadaan di akhir zaman di mana Imam Mahdi akan
menerima baiatnya dalam keadaan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Maksudnya
saat Imam Mahdi dibaiat nanti hanya akan menerima unsur keimaman saja,
sedangkan unsur kekuasaan akan didapatkan melalui beberapa peperangan akhir
zaman. Begitulah menurut beberapa keterangan dari Hadits Shahih.
Jadi pemaksaan pengertian
bahwa Khilafah Islamiyyah haruslah berbentuk sebuah Negara Islam Kesatuan
bukanlah maksud asal didirikannya khilafah ini oleh para sahabat. Bukti bahwa
hubungan antara suku-suku Islam Arab dengan Madinah yang berbentuk persekutuan
(federasi) kemudian diubah oleh Abu Bakar menjadi sebuah kekuasaan imperium
merupakan bukti bahwa unsur kekuasaan dalam kekhalifahan ini sifatnya luwes
asal memenuhi syarat sebagai sebuah Negara Islam, karena unsur kekuasaan ini
sifatnya urusan duniawi yang secara syar'i tidak diatur. Sedanagkan unsur
keimaman sifatnya fixed dan tak dapat diganggu gugat.
Karakter kepemimpinan
Kekhalifahan Islam
Ibnu Taymiyah mengatakan
bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan
yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan
kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadist yang
berbunyi:
"It (sovereignty)
is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and
humiliation except for those who were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras
dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[1]
Peranan seorang kalifah
telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din
al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak
berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat
memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah
perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara),
menerima zakat
mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian,
menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama,
menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan
bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya,
tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang
kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus
mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan
menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat.
(Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti
yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus
mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya,
(Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad,
beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan
kekuasaan politik di dunia."
Pencabutan gelar Khalifah
Kebanyakan ulama menolak
pencabutan gelar Khalifah apabila sudah terpilih. Tetapi fakta yang terjadi
adalah sebaliknya, banyak pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam
Husain yang melakukan revolusi di Karbala melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu al-Zubayr
kepada Yazid, untuk kebanyakan bagian telah terbatas keberadaannya.[2]
Dr. Abdul Aziz Islahi
berpendapat dalam masalah ini:
Mengikuti para filsuf
Yunani, St. Thomas Aquinas juga menggunakan sudut pandang ini, William
Archibald Dunning berkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi
individual dalam menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa
lebih sering orang jahat melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik.
Karena orang-orang jahat berpendapat bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang
beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi
warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk
kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."
Sejarah
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, kaum Muslim menerima hal ini
tanpa terjadi perdebatan. Pengganti Umar, Utsman bin
Affan, dipilih oleh dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian,
Utsman dianggap memimpin seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai
seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya dibunuh oleh
seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar
Muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak diterima
oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa pemberontakan dan
akhirnya terbunuh setelah memimpin selama lima tahun. Periode ini disebut
sebagai "Fitna", atau perang sipil
islam pertama.
Bani Umayyah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bani Umayyah
Salah satu kelompok
penentang ˤAlī adalah kelompok yang
dipimpin oleh Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu
Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan kekhalifahan. Dia kemudian dikenal
dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani Umayyah.
Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya
berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi
daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen,
dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang
selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani
Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim
menguasai daerah di Afrika Utara sampai ke Spanyol.
Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat
Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah
tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih
mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka
yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad),
yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa pemberontakan selama masa
kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan
pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para
pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin
kekhalifahan selanjutnya adalah Bani
Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi
Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim
akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Bani Abbasyiah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bani
Abbasiyah
Bani Abbasiyah berhasil
memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali
kepemimpinan gaya Islam
dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur
Tengah. Tetapi pada tahun 940
kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian
diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh
dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan
tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya,
Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun
kemudian, Said bin Husain, seorang
muslim Syi'ah
dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak
perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad,
mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia
mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya
telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah
kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani
Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol,
kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya
dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhalifahan
"bayangan"
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di
bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai Baghdad,
ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun
kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah
perlindungan Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para
khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para
sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai
"khalifah bayangan".
Kekaisaran Usmaniyah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kesultanan Usmaniyah
Bersamaan dengan bertambah
kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para pemimpinnya
mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian
bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan
Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab.
Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil
III, dipenjara dan dikirim ke Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak
Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan,
daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II
dan cucunya, Selim, yang menggunakan
gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Kekaisaran Usmaniyah
Menurut Barthold, saat
dimana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat
perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah
berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan
kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki
populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam
surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan
Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka
akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi
wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik
oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun
wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan
militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II
menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme
Eropa
yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu
dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada Perang Dunia
I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya
mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan
paling kuat di dunia.
Kekhilafahan 'ala Minhaji
an-Nubuwah
Setelah hampir satu abad
sejak runtuhnya kekhilafahan sebagai wadah pemersatu, umat islam semakin
berpecah dan menggolong-golongkan diri, dari bentuk negara islam, organisasi
islam, partai islam dan lain sebagainya. Tidak sedikit dari mereka yang
meneriakkan bersatunya umat, namun tak juga ditemukan titik temu walai sudah
berbagai kongres dan pertemuan terlaksana.
Keruntuhan kekhalifahan
Tepatnya pada tanggal 23
Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah,
terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum nasionalis
dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul
pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan
banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan
khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri,
sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah
dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan
Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada
dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul
dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau
kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan
khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan
khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan
Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus
pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini
diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen,
yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi
ketua parlemen,
Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik
yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal
29
November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya
untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi,
terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha
mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal
Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang
menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan
beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya.
Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara
kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang
kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering
disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret
1924, ia memecat khalifah
sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari
negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan
Islam.
Saat ini, Diyaniah
berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1].
Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki
dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor
pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah
lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal
religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah
runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni.
Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara
kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang
mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini
sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan
dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang
berhasil. Hussein bin Ali, seorang
gubernur Hejaz
pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya
pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan
terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua
hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama
kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI
juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah
di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit
negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan
tersebut.
Gerakan Khilafat
Pada tahun 1920-an
"gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan
kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris
di Asia.
Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah
pertemuan kemudian diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang,
sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan mengambil
langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini. Meskipun gelar Amir
al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka
menolak untuk mengakuinya. Organisasi yang mendekati bentuk sebuah bentuk
kekhalifahan saat ini adalah Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi
internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969
beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.
Negara Islam
Syariah tidak
mengkhususkan pengaturan mengenai bentuk yang wajib untuk suatu negara Islam.
Jadi, perkara negara ini masuk urusan duniawi yang dibebaskan. Akan tetapi,
keberadaannya harus tetap ada untuk menerapkan sebagaian hukum-hukum Islam yang
tidak bisa diterapkan selain oleh negara, misalnya hukum jinayah dan jihad.
Hanya saja terdapat kontroversi mengenai boleh tidaknya memakai sistem
demokrasi. Yang jelas, syarat berdirinya sebuah negara Islam yaitu adanya Hakim
(penguasa), rakyat yang yang mayoritas beragama Islam, wilayah, pengakuan atas
negara lain, dan diterapkannya hukum syariat Islam. Maksud pengakuan negara
lain ini tidaklah harus menjadi anggota PBB atau semacamnya. Akan tetapi
minimal negara-negara lain terutama tetangganya tidak bisa melintas
perbatasannya tanpa izin dikarenakan pengakuan secara langsung maupun tidak
langsung dari tetangganya. Contoh paling mudah adalah tidak mampunya Tentara
Zionis melintas perbatasan Gaza seenaknya tanpa mengerahkan kekuatan
militernya. Walaupun zionis tidak mengakui kekuasaan Hamas di Gaza, akan tetapi
ketidakmampuan nya menyeberang Gaza tanpa perang sebenarnya adalah pengakuan
tak langsungnya atas kekuasaan Hamas. Dikarenakan ketiadaan institusi khilafah
dan terbaginya kaum muslimin saat ini ke dalam banya negara, maka solusi
terbaik yang bisa ditawarkan adalah melalui OKI seperti yang telah disebutkan
dalam tulisan sebelumnya.
Argumentasi tentang
Pentingnya Khalifah
Dalil al-Qur'an
Di dalam al-Quran
memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti
negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki
pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan
hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah
kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah
memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa).
Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berarti perintah pula untuk
mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada,
sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang
eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati
seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa
mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi
perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk
mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan
hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan
terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena
kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu
mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT
telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin
berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan)
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang
diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh
dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga
merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan
perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi
malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang
mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat
tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan
hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali
menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan
itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna.
Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara
untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil as-Sunnah tentang
Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua
merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang
Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang
memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu
laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah
keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab).
Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila
mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk
meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy);
dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah
tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau
pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau
jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk
melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama
dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum
syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan
keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as
sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib
tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang
memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa
mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda
pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu
memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia
mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut
kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah
SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi
orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti
perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya
dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan
penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau
Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan
perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk
memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah,
dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum
muslimin.
Dalil Ijma’ Sahabat
Sebagai sumber hukum Islam
ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai
pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat
mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin
Khathtab, Utsman
bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang
menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa
mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan
seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah
suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman
jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para
Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata
sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat
Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat
lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula
bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam,
padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi
secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk
segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah.
Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang
Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa
seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban
mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa
yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak
pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang
Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian
masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan
dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil Dari Kaidah
Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul
fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah
yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban
yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula
keberadaannya."[butuh rujukan] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya
adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa
adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu,
berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber
hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan
kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan
para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah
(atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam
kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad)
--rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan
bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan
meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari
yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus
Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan
Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang
wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak
mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena
bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam Asy-Syaukani dalam Nailul
Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan
Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut
syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz
4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh
Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah
(Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah
sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat
kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini
sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi,
Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush
Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu
Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil
I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir
Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah,
hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi,
Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah,
hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al
Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham
Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75,
Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Namun ada pula buku yang
menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa
Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam
oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish
Madjid.
Daftar Khalifah
Lihat pula
Referensi
1. ^ Omar Hossino. Classical Islamic
Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations,
2006.
2. ^ Omar Hossino (2006). "Classical Islamic
Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations". Unpublished.
Bacaan lanjutan
- Arnold, T. W. (1993). "Khalīfa". In Houtsma, M. Th. E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936. Volume IV. Leiden: BRILL. hlm. 881–885. ISBN 978-90-04-09790-2. Diakses 2010-07-23.
- Crone, Patricia, and Martin Hinds. God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-32185-9.
- Donner, Fred. The Early Islamic Conquests. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar