BAB III
ZIARAH KE MAKAM RASULULLAH SAW
Sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai ulama mengklaim
bahwa melakukan perjalanan (safar)
dengan tujuan ziarah ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram
dilakukan. Pernyataan ini sama sekali tidak berdasar. Bahkan bertentangan
dengan ijma' (kesepakatan para ulama)
dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain madzhab empat. Yakni
ulama sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.
Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah. Baik bagi orang
yang berdomisili di Madinah maupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah.
Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat
hanya berziarah ke makam beliau adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya
mendapat pahala dari Allah 'azza wajalla.
Banyak hadits dan atsar yang bisa dijadikan dalil atas hal
ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya bahwasanya "pada
suatu hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah bani
Umayyah). Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah
(karena rindu dan ingin memperoleh berkah dari beliau). Marwan menghardik orang
itu: "Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?", lalu orang itu
menoleh dan ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat
nabi) kemudian berkata: "Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak
mendatangi sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: "Jangan tangisi agama
ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia
dikendalikan oleh yang bukan ahlinya". Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak
layak menjadi khalifah.
Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
"مَنْ جَاءَنِيْ زائِرًا لاَ يَهُمُّهُ إلاَّ زِيَارَتِيْ
كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أنْ أكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا" (رَوَاهُ الطَّبَرَانِي)
Maknanya: "Barangsiapa mendatangiku untuk
berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh
menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya" (H.R.
ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau
karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya
Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf
as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416).
Dalam hadits lain, beliau bersabda:
"مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ"
(رَوَاهُ الدَّارَ قُطْنِيّ)
Maknanya: “Barangsiapa berziarah ke makamku maka pasti
akan memperoleh syafa'atku". (H.R. ad-Daraquthni, dan adz-Dzahabi
berkomentar: "Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur sanad yang
berbeda-beda", lihat: Manahil
ash-Shafa fi Takhrij Ahadits asy-Syifa karya as-Suyuthi, hlm. 308).
Dalam kitab Wafa' al
Wafa, juz IV, hlm. 1045, as-Samhudi meriwayatkan bahwa Bilal ibn Rabah ketika berada di daerah Syam
bermimpi melihat Rasulullah bersabda kepadanya: "Sudah lama engkau tidak
mengunjungiku wahai Bilal...!" (Ma
hadzihi al jafwah). Ketika terjaga dari tidurnya, Bilal langsung menaiki
hewan tunggangannya dan bergegas menuju Madinah. Setelah sampai di makam
Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah
makam Rasulullah ".
Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
" لَيَهْبَطَنَّ
عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً وَإِمَامًا مُقْسِطًا وَلَيَسْلُكَنَّ
فَجًّا حَاجًّا أوْ مُعْتَمِرًا أوْ بِنِيَّتِهِمَا وَلَيَأْتِيَنَّ قَبْرِيْ
حَتَّى يُسَلِّمَ عَلَيَّ وَلأرُدَنَّ عَلَيْه " رَوَاهُ الحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ الذَّهَبِيّ
Maknanya: “Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun menjadi
penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi haji atau
umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi makamku
sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya"
(diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh
adz-Dzahabi).
Al Hafizh 'Abdurrahman ibn al Jawzi mengisahkan dalam
kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa
dan kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi bahwa Abu
Bakr al Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh
berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit
perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku
mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Wahai Rasulullah! lapar...lapar”,
lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin)
akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan
kisahnya: "Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan
ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki
garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia
ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di
dalamnya ada banyak makanan. Maka kami
duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu,
tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada
kami. Setelah kami selesai makan, 'Alawi
itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?,
sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk
membawakan sesuatu kepada kalian". Dalam kisah ini, secara jelas
dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta
pertolongan (al Istighatsah) adalah
boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama,
ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam.
Dan kalau mau ditelusuri, banyak sekali cerita–cerita semacam ini .
Dalam kitab asy-Syifa
bi Ta'rif Huquq al Mushthafa, al Qadli 'Iyadl menulis: "Ketika
khalifah al Manshur menunaikan ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah, ia
bertanya kepada Imam Malik (guru Imam Syafi'i): "Aku menghadap kiblat dan
berdo'a ataukah aku menghadap (makam) Rasulullah?". Imam Malik menjawab:
"Kenapa anda memalingkan wajah dari beliau sedangkan beliau adalah wasilah anda dan wasilah bapak anda, Adam ‘alayhissalam
?, menghadaplah kepada beliau dan berdo'alah kepada Allah agar anda memperoleh
syafa'at dari beliau, niscaya Allah akan menjadikan beliau pemberi syafaat bagi
anda". Cerita ini adalah shahih tanpa ada perselisihan pendapat,
sebagaimana yang dikatakan Imam Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf'u Syubah man Syabbaha wa Tamarrada,
hlm. 74 dan 115).
Dalam kitab Tuhfah Ibn
'Asakir, sebagaimana dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1405 bahwa ketika Rasulullah
dimakamkan, Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam beliau lalu
mengambil segenggam tanah dari makam dan ia letakkan (sentuhkan) tanah itu ke
matanya kemudian ia menangis…".
Dalam kitab al Ilal wa
Ma'rifat ar-Rijal, juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra
Ahmad ibn Hanbal) bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang
yang menyentuh mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh
dan menciumnya, dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam
Rasulullah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah 'azza wajalla. Imam Ahmad
menjawab: "Tidak mengapa (la ba'sa bi dzalik)".
Lebih dari itu, para ulama dalam kitab-kitab karangan mereka
telah menjelaskan bahwa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan
selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji (lihat kitab-kitab fiqh tentang
manasik haji seperti al Idlah karya
an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn
'Aqil al Hanbali dan lain-lain). Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma'. Di
antara mereka yang menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki
dalam kitab Syifa' as-Saqam Fi Ziyarah
Khair al Anam, hlm. 65-66, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa
juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn
al 'Idlah fi al Manasik, hlm. 156,
beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah:
"فَإِنَّهَا مِنْ أهَمِّ القُرُبَاتِ وَأنْجَحِ
المَسَاعِي"
Maknanya: “Ia tergolong hal terpenting untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses (baik)".
Selanjutnya adalah al Hafizh
adl Dliya' al Maqdisi dalam Fadlail al
A'mal, hlm. 108, beliau menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat
hal itu, di antaranya:
"مَنْ
حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي"
Maknanya: “Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah ke
makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku
masih hidup".
Ulama lain yang menyatakan kesunnahan ziarah ke makam
Rasulullah adalah al Hafizh Ibn Hajar al 'Asqalany dalam Fath al Bari juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni
(pengarang Kifayatul Akhyar) dalam
kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa
Tamarrada hlm. 94-95, al Hafizh Abu Zur'ah al 'Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh at-Taqrib hlm.
43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al
Jawhar al Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram
hlm. 27-28 dan masih banyak lagi yang lain.
Seseorang yang berziarah ke makam Rasulullah dianjurkan untuk
berdo'a di sana, sebagaimana hal itu disebutkan oleh ulama-ulama empat madzhab.
Di antaranya adalah Imam Abu Abdillah as-Samiri dalam al Mustaw'ab, an-Nawawi dalam al
'Idlah, Abu Mansur al Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan
pernyataan mereka mengenai hal ini dalam Daf'u
Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada, hlm. 115-116).
Terakhir, penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam
Rasulullah atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan berarti menyembah
mereka. Mereka hanyalah wasilah
(perantara) kita kepada Allah dalam berdo'a. Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn
al Jazary —seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar