Mālik ibn Anas
bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik
bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu
`Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan
meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta
pendiri Mazhab Maliki.
Biografi
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi
Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan
mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan
pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain
berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi
meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan
bahwa ia mendengar malik berkata :"aku dilahirkan pada 93 H".
dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu,
ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000
hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya
berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur
adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu
Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan
ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum
mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam
Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya
berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285
perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya
dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits
hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang
berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang
terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang
(guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari
Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az
Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir
adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang
lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti
al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al
Qaththan dan Abi Ishaq.Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para
sahabat dalam buku yang terkenal hingga
kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain. Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
Pujian Ulama untuk Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur,
tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada
meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”. (Ket: Abdul
Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak
senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit
mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama
menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan
ibadah”.
Ayyub bin Suwaid berkata :"Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah
(Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata:" Jika engkau
melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang
tersebut adalah ahli bid'ah"
Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i :" apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam
malik?" as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang
yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak
menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang)
menemui yang seperti Malik? "
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas
tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab
yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat
para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem
agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang
ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas
dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis,
mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000
hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits
itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan
dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan
40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya.
Imam Syafi pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al
qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa
karangan Imam Malik.”
Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari
kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. sebagian meriwayatkan imam Malik wafat
pada 14 Rabiul awwal 179 H.
Sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi':" imam malik wafat pada
usia 87 tahun" ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan
sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan
di Baqi'. (Http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas)
IMAM HANAFI
Nama,
Kelahiran dan Latar Belakang Pendidikannya
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanifah al –Nu’man bin
Tsabit Ibn Zutha al –Taimiy, tapi ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.
Ayahnya adalah keturunan bangsa Persia ( Kabul / Afganistan ) yang sudah
menetap di Kufah, sehingga beliaupun dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H
/699 M dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H /767 M, yakni di masa akhir dinasti
Umayyah di bawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan raja bani Umayyah ke-5 dan
masa awal dinasti Abbasiyah.
Beliau diberi gelar Abu Hanifah
karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak
menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu ( bapak / ayah ),
sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ada lagi satu riwayat
yang mengatakan, beliau bergelar Abu Hanifah karena begitu taatnya beribadah
kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab Haniif yang berarti condong atau
cenderung pada yang benar. Akan tetapi, menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu
Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat ), dan kata haniif
menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna
menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-teman dan
gurunya.
Pada mulanya Abu Hanifah gemar mempelajari ilmu qira’at,
hadits, nahwu dan ilmu agama lainnya yang berkembang pada masa itu, bahkan
iapun mempelajari teologi ( ilmu kalam ), sehingga ia menjadi salah seorang
terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya ia sanggup untuk
menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Pada waktu itu kota Kufah merupakan pusat pertemuan ulama
ilmu fiqh yang cenderung rasional, sehingga iapun menekuninya. Di kota ini
terdapat madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud ( wafat 63 H /
682 M ). Kemudian berlanjut di bawah kepemimpinan Ibrahim al –Nakha’i lalu
Hammad bin Sulaiman al –Asy’ari ( wafat 120 ).Dan dari Imam Hammad inilah Abu
Hanifah belajar fiqh dan hadits. Imam Hammad sering mewakilkan kepada beliau
dalam mengajarkan agama dan memberi fatwa. Kepercayaan ini diberikan karena
keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam mengupas masalah fiqh.
Abu Hanifah adalah seorang yang mempunyai kecerdasan yang
tinggi dan wawasan yang luas tentang ilmu agama, sehingga sangatlah tidak heran
jika banyak kalangan yang memujinya dan mengakuinya. Hal ini bisa dilihat dari
pernyatan dan pengakuan para ilmuan lainnya. Imam Ibn al – Mubarak mengatakan :
“ aku belum pernah melihat seorang laki-laki lebih cerdik dan pandai dari pada
Imam Abu Hanifah.” Imam Ali bin Ashimpun berkata : “ jika sekitranya
ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu
dapat dikalahkan”. Seorang raja, Harun ar –Rasyid kala itu juga menyatakan : “
Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa
yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya”.
Imam Malik pernah ditanya oleh seseorang :” pernahkah anda
melihat Abu Hanifah? Ya, saya melihatnya, ia adalah seorang laki-laki, jika
anda bertanya tentang tiang ini supaya ia jadikan emas, niscaya dia akan
memberikan alasan-alasannya”. Bahkan Imam Syafi’i pernah menyatakan :” manusia
seluruhnya adalah keluarga dalam ilmu fiqh dan menjadi anak buah Imam Abu
Hanifah”.
Pengakuan dan pernyataan yang disampaikan oleh Imam Malik
dan Imam Syafi’i cukuplah membuktikan betapa luasnya pandangan dalam mengulas
hukum-hukum islam. Bahkan tidak hanya dalam masalah fiqh, tentang
haditspun beliau juga mempunyai kepandaian dan kecerdasan. Menurut Imam Abu
Yusuf sahabatnya Imam Syafi’i:”saya belum pernah melihat orang yang lebih
mengerti tentang hadits dan tafsirnya selain dari pada Abu Hanifah, ia tahu
akan illat-illat hadits, mengerti tentang ta’dil dan tarjih, mengerti tentang
tingkatan hadits yang sah atau tidak.
Dari sekian banyak riwayat yang menerangkan tentang
kealiman, kebesaran dan kemuliannya tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa
beliau adalah orang yang sangat berjasa bagi islam dan umatnya. Beliau juga
seorang pilihan yang telah lulus dalam menempuh berbagai ujian berat, menderita
dan sakit di dalam penjara sampai akhirnya beliau wafat tahun 150 H (576 M )
pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pekuburan khizra, dan pada saat itu
lahirlah Imam Syafi’i.
Sepeninggal beliau, pada tahun 450 H / 1066 M didirikanlah
sebuah sekolah yang diberi nama jami’ Abu Hanifah. Ajaran dan ilmunya tetap
tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara meridnya yang
terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki’ bin jarah Ibn Hasan al-
Syaibah dan lain-lain.
Karya-karya
Imam Abu Hanifah
Sepanjang hidupnya, Imam Abu Hanifah banyak mengajarkan
berbagai ilmu kepada murid-muridnya, baik ilmu fiqh, ilmu kalam ataupun yang
lainnya. Ini dikarenakan beliau adalah seorang yang mempunyai kepandaian dan
kecerdasan yang luar biasa pada zamannya.
Diantara para ulama terkenal yang memnjadi sahabat beliau dan berjasa dalam pengkodifikasian fatwa-fatwa beliau adalah :
Diantara para ulama terkenal yang memnjadi sahabat beliau dan berjasa dalam pengkodifikasian fatwa-fatwa beliau adalah :
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahin al- Anshary ( 113-182 h )
Muhammad ibn Hasan al- Syaibany ( 132-189 H )
Zufar ibn Huzailibn al- Kufy ( 110-158 H )
al- Hasan ibn Ziyad al- Lu’lu’iy ( 133-204 H ).
Pada saat beliau masih hidup,fatwa-fatwa dan hasil ijtihad
beliau belum dikodifikasikan, setelah beliau meninggal, barulah buah pikirannya
itu dikodifikasikan oleh murid-murid dan para sahabatnya sehinggah menjadi
mazhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang. Sebagian dari para muridnya , pada
masalah hukum keagamaan ada yang menyalahi, ada yang berlawanan dan ada pula
yang berbeda pendapat atas buah fikiran beliau, tetapi sebagian besar mereka
itu telah menyepakati dan sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh beliau.
Dalam melakukan pengkodifikasian perkataan-perkataan dan
buah fikiran Imam Abu Hanifah tentang masalah-masalah hukum keagamaan, para
sahabat beliau mencampurnya dengan perkataan-perkataan atau pendapat mereka
masing-masing dengan pendapat Imam Hanafi. Karena aliran beliau itulah yang
asli, sehinggah hal-hal yang menyalahi dengan pendapat atau berlawanan dengan
perkataan beliau adalah sedikit sekali.
Dari keempat sahabat dan murid beliau yang banyak menyusun
buah fikiran Abu Hanifah adalah Muhammad al- Syaibany yang terkenal dengan ”
al-Kutub al- Sittah ” ( enam kitab yaitu:
1.
Kitab al - Mabsuth
2.
Kitab al – Ziyadat
3.
Kitab al – Jami’ al – Shaghir
4.
Kitab al – Jami’ al – Kabir
5.
Kitab al – Sair al – shaghir
6.
Kitab al – Sair al – Kabir
Kitab al – Mabsuth adalah kitab terpanjang yang dihimpun dan
disusun oleh Imam Muhammad ibn Hasan, yang di dalamnya berisi beribu-ribu
masalah keagamaan yang dipegang atau ditetapkan oleh Imam Hanafi. Di dalamnya
juga berisikan tentang perselisihan pendapat antara Imam Hanafi Imam ibnu Abi
Laila.
Kitab al- Jami’ al – Shaghir, kitab ini berisi beberapa
masalah yang diriwayatkan dari Imam Isa ibn Abban dan Imam Muhammad ibn
Sima’ah, keduanya adalah murid Imam Muhammad ibn Hasan. Kitab ini berisi 40
fasal dari fasal-fasal fiqh yang permulaannya adalah fasal ”Ash- Shalah”.
Tetapi dalam kitab ini tidak diberi bab-bab fasalnya, Oleh karena itu,
dikemudian hari disusun dan diatur perbab oleh al- Qadhi Abuth-Thahir,Muhammad
ibn Muhammad ad- Dabbas untuk memudahkan bagi yang hendak mempelajarinya.
Kitab al- Jami’ al- Kabir berisikan sebagaiman kitab yang
kedua, hanya saja lebih panjang uraiannya. Kitab al- Sair al- Shagir yang
berisikan masalah – masalah jihad semata. Sedang al- Sair al-Kabir berisikan
masalah-masalah fiqh juga. Sepanjang riwayat bahwa Imam Abu Hanifah adalah
seorang yang mula-mula merencanakan ilmu fiqh, mengatur dan menyusunnya dengan
dibab-bab – sefasal demi sefasal – untuk memudahkan orang yang mempelajarinya.
Karena di masa para sahabat dan tabi’in fiqh itu belumlah dihimpun dan disusun.
Beliau mengkhawatirkan akan hilangnya ilmu pengetahuan itu, sehingga beliau
merencanaka, mengatur dan menyusun menjadi beberapa kitab dan bab. Sehingga
tidaklah mengherankan jika Imam Syafi’I menyatakan ” bahwa para ahli
fiqh itu menjadi anak asuh dari Imam Abu Hanifah”.
Metode
istimbat yang digunakan mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah ulama yang terkenal menggunakan
rasio dalam ijtihad-ijtihadnya, sehinggah ia dikenal dengan ahl al- Ra’yu. Ia
hidup selama 52 tahun pada masa dinasti umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti
Abbasiyah. Pada masa hidupnya, ia sempat menyaksikan tragedi – tragedi besar di
Kufah. Di satu sisi Kufah memberikan makna dalam kehidupannya sehingga menjadi
seorang ulama besar al –Imam al –A’zam. Tapi disisi lain, beliau merasakan kota
Kufah sebagai kota yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Kufah dan
Bashra di Irak memang melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang seperti
ilmu sastra, teologi, tafsir, hadits dan tasawuf.
Intelektualitas Abu Hanifah diwarnai oleh kedua kota
bersejarah tersebut. Di tengah berlangsungnya proses transformasi
sosio-kultural, politik dan pertarungan tradisional antara suku Arab utara,
Arab selatan serta Persi. Oleh karena itu, pola pikir Imam Abu Hanifah
dalam menetapka hukum sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan
serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama ahl al –Ra’yu ( ahli
rasional )dalam menetapkan hukum islam, baik yang dinisbathkan dari al –Qur’an
ataupun al –Hadts. Beliau banyak menggunakan nalar, mengutamakan ra’yu dari
pada khabar ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliaau menetapka
hukum dengan qiyas dan istihsan. Beliau mengajak kepada kebebasan berfikir
dalam memecahkan masalah-msalah baru yang belum terdapat dalam al- Qur’an dan
sunnah, dan menganjurkan pembahasan persoalan dengan bebas merdeka. Ia banyak
mengandalkan qiyas( analogi ), istihsan dan istishab dalam menetapkan hukum.
Cara ini menjadi cirri umum mazhabnya, sehingga ia
sering disebut sebagai “ ahl al- Ra’yu”. Salah satu alasan mengapa Abu Hanifah
banyak menggunakan akal dalam menentukan hukum adalah kurangnya hadits yang
tersebar di Irak kala itu, keadaan yang menuntut beliau untuk banyak berfikir
dalam menentukan hukum.
Tentang
cara beliau menetapkan hukum dari suatu permasalahn diungkapkannya sendiri
sebagai berikut :
“ Saya mengambil hukum dari al- Qur’an, jika saya tidak
mendapatkannya dari al- Qur’an, maka saya bersandar kepada sabda –sabda rosul
yang shohih dan yang terdapat dikalangan orang-orang yang bisa dipercaya. Bila
dalam al-Qur’an dan Hadits tidak saya temukan sesuatupun, maka saya beralih
kepada keterangan para sahabat. Saya mengambil mana yang saya kehendaki dan
meninggalkan mana yang saya kehendaki. Setelah berpijak pada pendapat para
sahabat, saya menengok pada pendapat orang-orang lain. Jika telah sampai pada
pendapat Ibrahim al-Syuba’i, Hasan Basri, Ibnu Sirin, Sa’ad bin Musayyab –
sambil beliau mengemukakan beberapa nama ulama besar dari para mujtahid, maka
akupun berhak melakukan ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan.
Sahal bin Muzahim pernah menyatakan :“ pendapat Abu Hanifah
berpegang kepada apa yang dipercaya, menjauhkan dari keburukun, suka
memperhatikan adat istiadat dan hal ikhwal orang banyak, apa yang dianggap baik
dan buruk oleh mereka. Imam Hanafi memecahkan berbagai problematika dengan
jalan qiyas, apabila jalan itu terasa kurang tepat, maka beliau menempuh jalan
istihsan selama jalan ini dapat ditempuh. Jika metode inipun tidak dapat
ditempuh, maka beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang dilakukan oleh
kaum muslimin.
Secara hierarkis pokok-pokok pikiran mazhab Hanafi adalah:
1.
Al- Kitab (al-Qur’anul Karim),
adalah pilar utama syari’at, semua hukum kembali kepadanya dan Ia sumber dari
segala sumber hukum.
2.
Al- sunnah Rasullah SAW dan
atsar-atsar yang shahih serta telah masyhur ( tersiar )diantara para ulama yang
ahli, dan merupakan penjelasan dari al- Qur’an dan perinci dari yang mujmal (
global ).Siapa yang tidak mau berpegang pada al Sunnah tersebut, berarti ia
tidak mengakui kebenaran risalah Allah yang disampaikan melalui RosulNya.
3.
Al-Aqwal al-Sahabah ( fatwa-fatwa dari para
sahabat ), pendapat atau ucapan-ucapan dari para sahabat di mana mereka
menyaksikan masa turunnya al- Qur’an serta mengetahui keserasian antara
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits serta pewaris ilmu dari Nabi SAW untuk generasi
berikutnya.
4.
Al-Qiyas, apabila ternyata dalam
suatu permasalahan tidak ditemukan dasar hukumnya, baik itu dalam al- Qur’an,
al- Sunnah maupun perkataan sahabat, maka beliau menggunakan al-Qiyas, yaitu
menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada kepada nash yang ada
setelah memperhatikan illat yang sama diantara keduanya.
5.
Al- Istihsan, keluar atau menyimpang
dari keharusan logika analogi ( qiyas ) yang tanpa nyata menuju kepada hukum
lain yang menyalahinya. Sebenarnya al-Istihsan merupakan pengembangan dari al-
Qiyas, dan penggunaan al- Ra’yu lebih menonjol lagi. Menurut bahasa al-Istihsan
berarti ” menganggap baik ” atau ” mencari yang baik ”. Sedang menurut istilah
Ulama Ushul fiqh adalah meninggalkan ketentuan qiyas yang samar illatnya,
atau meninggalakan hukum yang bersifat umum dan berpegang pada hukum yang
bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya.
6.
‘Urf ( adat istiadat) masyarakat
muslim yang berlaku dalam suatu masa tertentu yang tidak terdapat dalan nash
al-Qur’an, sunnah atau belum ada praktek sahabat. Pendirian beliau adalah mengambil
yang sudah diyakini dan dipercaya dan lari dari keburukan serta memperhatikan
mu’amalah-mu’amalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka.
Beliau melakukan segala urusan ( bila tidak ditenukan dalam al- Qur’an, al-
Sunnah al- Ijma’ atau al- Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara
al- Qiyas ), beliau melakukan dengan al- Istihsan. Apabila tidak dapat
dilakukan al- Istihsan, beliau kembali pada ‘urf manusia. (Http://www.masterfajar.com/2012/07/biografi-imam-hanafi-abu-hanifah/
IMAM SYAFI’I
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah
Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid
bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin
Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah
al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera
pamannya.
Al-Muththalib
adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek
Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan
Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga.
Sebutan
“asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib,
seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih
muda. Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW
sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah
tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya,
yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW berkata, “Adalah suatu kebahagiaan
bila seseorang mirip dengan ayahnya.” Sementara ibunya berasal dari suku Azd,
Yaman.
Gelarnya
Ia digelari
sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini
diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya
untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan
sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat-
tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama
tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak
riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah
bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di
kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi
mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang
shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’
barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di
kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh
riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu
dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar
mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada
pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau
‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka
maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki
usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk
negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku
Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir
nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam
asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga
hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini
tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah,
ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam
asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7
tahun.
Menurut
pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya,
ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena
dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu
dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua
apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia
masukkan ke dalam karung.
Ia juga
bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10
tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh
untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut
ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia
harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya
untuk mencatat.
Hasilnya, dalam
usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut
riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada
usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk
berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji. Semula beliau begitu gandrung
dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan,
ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu
bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan
membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam
terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga
gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam
asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia
mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih.
Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya
bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan
bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas
keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam
bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir
Hudzail kepadanya.
Di samping itu,
imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga
membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan
oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami
berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang
sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di
al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis
tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti
itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah,
setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid
az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk
menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama
16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia
belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan
ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal
Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di
sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang
yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun
ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan
tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang
amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya
tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’
atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian
merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan
mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan
tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya
melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah,
demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim
haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau
kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang
dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari
berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya
untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab
lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang
‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan
al-Karaabiisy.
Kemudian beliau
kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah
itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad,
beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di
Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di
sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di
antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair
al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul
Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi
pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua
imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong
kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir,
beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk
mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat
lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu
berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir,
sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di
Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh
para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal
ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar
menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah
manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq,
manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam
mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan
pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke
abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’
(Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli
Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di
Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu
tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka
kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh
manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan
menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah
mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling
terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy,
Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli
fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin
oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya
muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan
pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki
pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak
penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli
semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia
lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang
diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut
ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia,
yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan
ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode
perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan
perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan
tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan
para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan
Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin
al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry,
al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal
keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak
mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu,
timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai
memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas,
berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam
asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit,
maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil
melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat
kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut
mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan
Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli
Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan
murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam
asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam
fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah
ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam
fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi
dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut
dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil,
kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam
menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak
baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya
dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan
sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun
ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang
yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa
as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada
al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an
membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat
menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula
lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya
atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah
dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan
keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi
hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli
Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam
Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal
yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa
hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah,
menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya
inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di
sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah
(Pembela as-Sunnah).
Barangkali
faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang
Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya
terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di
mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi
hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya
tidak demikian.
Setelah merujuk
al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya
bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas
tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini
dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para
ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan
apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan),
Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias
mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias
pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau,
misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa
pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun
mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan
oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan
siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya,
maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya
hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena
kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal,
dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga
mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di
atas ‘arasy-Nya dan sebagainya. Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah
ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan
merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah
al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah
diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh
KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam
asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak
banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih
lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab.
Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan
berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala
itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap
sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui
sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah
disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad
berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik
terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila
Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun
pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata,
“Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua
isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan
karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan
perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya
engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia
membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana
engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah
memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang
mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya
burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari
dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah
malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak
orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa
banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala
mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan
jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya
aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat
menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang
paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana
rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu
penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun
mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i
terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada
kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman
sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari
kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan,
keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun
demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari
kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor.
Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat
masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli
apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai
saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya
oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga
ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat
matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah
bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam
asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan
dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai
ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun
demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu
shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin
Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama
untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi
ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu
hendaknya dilakukan dengan niat.” Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat
merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia
akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Imam
asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau
mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui
Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
IMAM HAMBALI
Nama dan
Nasabnya
Ahmad bin
Hanbal (781 - 855 M, 164 - 241 AH) (Arab أحمد بن حنبل ) adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin
Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali.
Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang
pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia
juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang
terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal
umur 15 tahun itu pula. Ia telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk
mempelajari Hadits ini ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan
negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa,
saleh, dan zuhud. Abu
Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12
buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tetang diri Imam Ahmad sebagai berikut:
"Setelah
saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang
lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru beliau pernah berkata,
"Saya
tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal"
Keadaan fisik
Muhammad bin
‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata
Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan,
di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih
dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna
coklat (sawo matang)”
Keluarga
Beliau menikah
pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia melahirkan dari
istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah
dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Kecerdasan
Putranya yang
bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia
saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar
darinya”. Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku,
“Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah
yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu
tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah
pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda
atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya,
“Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya
tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi
tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan,
“Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.
Pujian Ulama
Abu Ja’far
mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan
sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar
darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh
hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan
manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat
rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i
berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam
dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran,
Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi
memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan
padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai
disiplin ilmu”.
Kezuhudannya
Beliau memakai
peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa
kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung
membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya
sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit
dan kecil”.
Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il
At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh
ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan,
“Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak
mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau
juga tidak mau menerimanya.
Tawadhu’ dengan kebaikannya
Yahya bin
Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin
Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah
menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga
saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Al Marrudzi berkata, “Saya
belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di
majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang
perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak
tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi
ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau pernah bermuka masam
karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu
tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya
kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau
pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang
melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak
bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang
saya dapatkan dari Abdirrazzak”.
Hati-hati dalam berfatwa
Zakariya bin
Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh
seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau
menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus
ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya harap demikian”.
Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin
Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad
maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami
adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.
Masa Fitnah
Pemahaman
Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid
dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats
Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus
bersembunyi pada masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia
menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa
khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah
sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al
Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan
bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya. Barangsiapa mau menuruti dan
tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi
yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan
makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena
beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat
menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim
meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk
menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan,
namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya
orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji
kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281.
lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan
rumahku sama saja”.
Ketegaran dan
ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq
bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih
tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti
lalat”.
Di saat
menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar
biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran
meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak
terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih
mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku,
“Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan
jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil
berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh
yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini
adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang
didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan
beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam
Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits,
Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai
Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah,
Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar
dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!
Guru
Imam Ahmad bin
Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan
puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah,
Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
Murid-murid Ahmad bin Hanbal
Umumnya ahli
hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga
ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
Kewafatan Ahmad bin Hanbal
Setelah sakit
sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari
Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77
tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh
ribu pelayat perempuan.
Karya tulis
Ahmad bin
Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab "Musnad"
dan sebaik baik karangan beliau dan sebaik baik penelitian Hadits. Ia tidak
memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad
ini berisi lebih dari 25.000 hadits.
Di antara
karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh
anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga
Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.
Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
1. Kitab Al
Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua
puluh tujuh ribu hadits
2. Kitab
at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab
an-Nasikh wa al-Mansukh
4. Kitab
at-Tarikh
5. Kitab Hadits
Syu'bah
6. Kitab
al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
7. Kitab Jawabah
al-Qur`an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar