BAB I
BID’AH
Bid'ah dalam bahasa berarti sesuatu
yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam pengertian syara' adalah
sesuatu yang baru yang tidak terdapat secara eksplisit (tertulis) dalam al
Qur'an maupun hadits.
Bid'ah terbagi menjadi dua
bagian, sebagaimana dipahami dari hadits 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- ia berkata : Rasulullah r bersabda :
"من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"
Artinya : "Barang siapa yang berbuat sesuatu yang
baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak".
Bagian pertama : Bid'ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu sesuatu yang baharu yang sejalan dengan al
Qur'an dan Sunnah.
Bagian kedua : Bid'ah
Sayyi-ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi-ah yaitu sesuatu yang
baharu yang menyalahi al Qur'an dan Sunnah.
Pembagian bid'ah ini juga
dapat dipahami dari hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali –semoga Allah
meridlainya-, ia berkata : Rasulullah shallallahu
'alayhi wasallam bersabda :
"من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من
غير أن ينقص أجورهم شىء،ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزرمن عمل بها
من بعده من غير أن ينقص من أوزورهم شىء"
(رواه مسلم)
Artinya : "Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala
dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis
dalam Islam sunnah yang buruk maka
baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun"
(H.R. muslim)
Contoh bagian pertama : Peringatan maulid Nabi shallallahu 'alayhi wasallam di bulan
Rabi'ul awwal. Orang yang pertama kali mengadakannya adalah raja al Muzhaffar
penguasa Irbil pada abad 7 hijriyah.
Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al Qur'an oleh Yahya bin Ya'mur,
salah seorang tabi'in yang agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa,
perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan
lainnya, mereka menganggap baik hal ini sekalipun mushhaf tersebut tidak
memakai titik saat Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Begitu
pula ketika 'Utsman bin 'Affan menyalin dan menggandakan mushhaf menjadi lima
atau enam naskah tidak ada titk-titik (pada huruf-hurufnya). Sejak saat
pemberian titik oleh Yahya bin Ya'mur itulah semua umat Islam hingga kini
selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al Qur'an. Apakah mungkin hal
ini dikatakan sebagai bid'ah sesat sebab Rasulullah tidak pernah melakukannya
?!. Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mushhaf-mushhaf
tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa Utsman. Abu Bakr
bin Abu Dawud, anak penulis kitab Sunan,
dalam kitabnya al Mashahif berkata : "orang yang pertama kali membuat titik
dalam Mushhaf adalah Yahya bin Ya'mur". Yahya bin Ya'mur adalah salah
seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat Abdullah bin umar
dan lainnya.
Contoh bagian kedua : hal-hal yang baharu dalam masalah
aqidah, seperti bid'ahnya golongan Mu'tazilah, Khawarij dan mereka yang
menyalahi apa yang telah menjadi keyakinan para sahabat nabi. Contoh lainnya
seperti penulisan shad (ص) setelah nama Nabi sebagai
pengganti shallahu 'alayhi wasallam صلى الله عليه وسلم . Padahal para ahli
hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al Hadits bahwa menuliskan
shad (ص) saja setelah penulisan nama
Nabi adalah makruh, namun begitu mereka tidak sampai mengharamkannya. Dengan
demikian bagaimana bisa orang-orang yang suka membuat kegaduhan itu mengatakan
bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid'ah yang diharamkan dan bahwa bershalawat
atas Nabi dengan suara yang keras setelah adzan adalah bid'ah yang diharamkan,
dengan alasan bahwa Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah
melakukannya ?!.
Termasuk bid'ah sayyi-ah
juga merubah nama Allah (الله) menjadi
"Aah" (ءاه) atau sejenisnya yang
dilakukan oleh banyak orang dari mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut
tarekat, ini adalah bid'ah yang diharamkan.
Imam Syafi'i –semoga Allah
meridlainya- berkata :
" المحدثات من الأمور ضربان، ماأحدث مما
يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا أو أثرا فهذه البدعة الضلالة، والثانية ما أحدث من
الخير و لا يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا وهذه محدثة غير مذمومة "
"Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama
sesuatu yang menyalahi al Qur'an, Sunnah, Ijma' atau Atsar (apa yang dilakukan
atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah
bid'ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al
Qur'an, Sunnah, maupun Ijma', inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela ". (Diriwayatkan oleh al
Bayhaqi dengan sanad yang sahih dalam kitabnya Manaqib asy-Syafi'i.)
BAB II
MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK MAYYIT
- Membaca al Qur'an
Para ulama Ahlussunnah
menyepakati bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah
untuk orang yang telah mati itu bermanfaat. Demikian juga membaca al Qur'an di
atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al Qur'an
di atas kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua
bagian kemudian Nabi menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan
Rasulullah bersabda:
" لعله يخفف عنهما ما
لم ييبسا"
رواه
الشيخان
Artinya : "Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini
belum kering". Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh
menancapkan pohon dan membaca al Qur'an di atas kubur, jika pohon saja bisa
meringankan adzab kubur lebih–lebih bacaan al Qur'an orang mukmin. Imam Nawawi
berkata: "Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al Qur'an di atas
kubur berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa
kubur dari tasbihnya pelepah kurma apalagi dari bacaan al Qur'an". Jelas bacaan al Qur'an dari manusia itu lebih
agung dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al
Qur'an bermanfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka
mayit begitu juga.
Di antara dalil bahwa mayyit
mendapat manfaat dari bacaan al Qur'an orang lain adalah hadits Ma'qil ibn
Yasar:
" اقرءوا يس
على موتاكم " (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان وصححه).
Artinya : " Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian " (H.R Abu Dawud, an–
Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).
Hadits ini memang dinyatakan
lemah oleh sebagian ahli hadits, tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih
dan Abu Dawud diam (tidak mengomentarinya) maka dia tergolong hadits Hasan
(sesuai dengan istilah Abu Dawud dalam Sunan-nya),
dan al Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini Hasan.
Dalil yang lain adalah hadits Nabi:
" يس قلب
القرءان لا يقرؤها رجل يريد الله و الدار الآخرة إلا غفر له، واقرءوها على موتاكم
" (رواه أحمد)
Artinya Ar: " Yasin adalah hatinya al Qur'an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena
mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya,
dan bacalah Yasin ini untuk mayit–mayit
kalian " (H.R. Ahmad)
Ahmad bin Muhammad al
Marrudzi berkata : "Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Apabila kalian memasuki
areal pekuburan maka bacalah surat al
Fatihah dan Mu'awwidzatayn dan
surat al Ikhlas dan hadiahkanlah
pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai
kepada mereka".
Al Khallal juga meriwayatkan
dalam al Jami' dari asy-Sya'bi bahwa
ia berkata:
"كانت الأنصار
إذا مات لهم ميت اختلفوا إلى قبره يقرءون له القرءان"
"Tradisi
para sahabat Anshar jika meninggal salah seorang di antara mereka, maka mereka
akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al Qur'an untuknya
(mayit)".
Demikian juga hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al Bukhari bahwasanya 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata : Alangkah sakitnya kepalaku lalu
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
bersabda :
" ذاك لو كان
وأنا حي فأ ستغفر لك وأدعو لك "
Artinya : "Jika
itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon
ampun dan berdoa untukmu".
Perkataan Rasulullah " وأدعو لك " (maka
saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan
macam–macamnya, maka termasuk doa
seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al Qur'an dengan tujuan supaya
pahalanya disampaikan kepada mayit seperti dengan mengatakan :
اللهم أوصل ثواب ما قرأت إلى
فلان
"Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan".
Demikian juga hadits yang
diriwayatkan oleh Ubayy ibn Ka'b bahwa dia berkata: "Wahai Rasulullah sesungguhnya aku banyak bershalawat kepadamu
maka berapa banyak sebaiknya aku bershalawat kepadamu ? Rasulullah menjawab
: "terserah kamu" (H.R. Imam at–Turmudzi)
Sedangkan yang sering
dikatakan orang bahwa Imam Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan
sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak
dibarengi dengan doa Ii-shal - إيصال - (doa agar disampaikan pahala
bacaan tersebut kepada mayit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan
mayit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan
diakhiri doa Ii-shal - إيصال - dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayit). Imam an-Nawawi
mengatakan: "Asy-Syafi'i dan tokoh-tokoh madzhab Syafi'i mengatakan:
Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al Qur'an, dan jika dibacakan al
Qur'an hingga khatam itu sangat baik".
Sebagian ahli bid'ah
mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang
lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lain. Perkataan mereka ini bertentangan dengan al
Qur'an dan Sunnah. Bahwa mereka berdalil dengan firman Allah ta'ala:
) وأن ليس للإنسان إلا ما سعى ( (سورة النجم : 39 )
Ini adalah hal yang tidak tepat dan
mesti ditolak karena maksud ayat ini bukanlah menafikan bahwa seseorang
mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain seperti sedekah
dan haji untuk orang yang telah meninggal, melainkan ayat ini menafikan
kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain
yang mengerjakankannya, karena itu jika ia mau ia bisa memberikan kepada orang
lain dan jika tidak ia bisa memilikinya untuk dirinya sendiri. Allah subhanahu wata'ala tidak mengatakan
tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri.
Mereka yang menafikan secara
mutlak tersebut adalah golongan Mu'tazilah. Imam Ahmad ibn Hanbal pernah
mengingkari orang yang membaca al Qur'an di atas kuburan, namun kemudian
sahabat (salah seorang murid dekat)nya menyampaikan kepadanya atsar dari sebagian sahabat yaitu Ibn
Umar lalu dia ruju' dari pendapatnya tersebut. Al Bayhaqi dalam as-Sunan al Kubra meriwayatkan dengan
sanad yang sahih bahwa Ibn Umar menganggap sunnah setelah mayit dikuburkan
untuk dibacakan awal dan akhir surat al Baqarah. Salah seorang ulama Madzhab
Hanbali, Asy-Syaththi al Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al Muntaha, hlm. 260 mengatakan :
"Dalam al Furu' dan Tashhih al Furu' dinyatakan : Tidak dimakruhkan membaca al
Qur'an di atas kuburan dan di areal pekuburan, inilah yang ditegaskan oleh al
Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian sebagian menyatakan
hal itu mubah, sebagian mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga
disebutkan dalam al Iqna'".
- Menghidangkan Makanan untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an
Menghidangkan makanan yang
dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an adalah boleh
karena itu termasuk ikram adl-Dlayf (menghormat tamu). Dan dalam Islam ini adalah
sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali bahwa
ia mengatakan :
" كنّا نعد
الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة"
(رواه أحمد بسند
صحيح)
Artinya : "Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan
membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)" (H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih)
Maksudnya adalah jika
keluarga mayit membuat makanan tersebut untuk dihidangkan kepada para hadirin dengan tujuan al Fakhr ; berbangga diri supaya orang
mengatakan bahwa mereka pemurah dan dermawan
atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar
menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, karena
inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang
tidak beriman kepada akhirat itu. Dan inilah Niyahah yang termasuk perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan
dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam
Jika tujuannya bukan untuk
itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah untuk mayit dan meminta
tolong agar dibacakan al Qur'an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak
terlarang. Al Bukhari meriwayatkan dalam Sahih-nya dari Ibn 'Abbas bahwa Sa'd
ibn 'Ubadah ibunya meninggal ketika dia pergi, kemudian ia berkata kepada
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam :
Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dan aku sedang tidak berada di tempat
tersebut, apakah bermanfa'at baginya jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya ?,
Rasulullah menjawab : "Ya", Sa'd berkata : (Kalau begitu) Saya
bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang sedang berbuah itu aku sedekahkan
untuknya.
- Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya
Tradisi ummat Islam
mengundang para tetangga ke rumah mayit kemudian memberi makan mereka ini
adalah sedekah yang mereka lakukan untuk si mayit dan dalam rangka membaca al
Qur'an untuk mayit, dan jelas dua hal ini adalah hal yang boleh dilakukan.
Sedekah untuk mayit jelas dibenarkan oleh hadits Nabi dalam Sahih al Bukhari.
Sedangkan membaca al Qur'an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan
Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit,
demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh
ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi
dalam Syarh Ihya' 'Ulum ad-Din. Syekh
Abdullah al Harari mengatakan : "Sedangkan yang sering dikatakan orang
bahwa Imam asy-Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada
mayyit maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan
doa Ii-shal (doa agar disampaikan
pahala bacaan kepada mayyit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan
mayyit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan
diakhiri doa Ii-shal dan membaca al Qur'an di atas kuburan
mayyit)". (lihat Syarh Raudl ath-Thalib, Nihayatul Muhtaj, Qadla' al Arab fi As-ilah Halab dan kitab-kitab Fiqh Syaf'i yang
lain).
Bahwa berkumpul untuk
mendoakan mayit dan membaca al Qur'an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke
seratus, ke seribu dan seterusnya maka hukumnya adalah sebagai berikut :
§
Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah.
§
Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah
bagi yang belum. Bagi yang sudah berta'ziyah, berkumpul saja pada hari-hari
tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi kalau tujuan berkumpul
tersebut adalah untuk membaca al Qur'an dan ini semua mengajak kepada kebaikan.
Allah ta'ala berfirman :
) وافعلوا الخيـر
لعلكم تفلحون ( (سورة الحج : 77)
Maknanya
: "Lakukanlah hal yang baik agar
kalian beruntung" (Q.S. al Hajj
: 77).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar